Pandangan hidup adalah sesuatu yang
di miliki oleh setiap manusia yang bertujuan agar manusia dapat menentukan apa
yang mereka pilih dan apa yang mereka akan tuju,karena pada dasarrnya manusia
selalu hidup diantara pilihan yang bisa menentukan mereka akan berhasil atau
mereka akan terpuruk.disinilah peran pandangan hidup manusia untuk bisa memilih
mana yang terbaik buat diri manusia ituu sendiri.terkadang manusia hanya lebih
melihat dengan apa yang mereka yakini sebenarnya jika manusia tersebut lebih
melihat dengan pandangan hidup yang mereka punya mungkin akan ada banyak
jawaban yang akan mereka temukan dengan pandangan hidup mereka.
pandangan hidup tidak selamanya membawa kedalam keterpurukan asalkan setiap manusia memahami pandangan apa yang mereka pilih bahkan bisa membuat manusia itu sendiri menjadi manusia yang berhasil.keberhasilan dapat di raih dengan usaha apa yang mereka lakukan dan selalu memiliki sikap pantang menyerah sebelum mencapai apa yang di tuju.maka ubahlah pandangan hidup kalian untuk menjadi manusia yang berharga dan berguna bagi setiap orang di sekitar kalian.
pandangan hidup tidak selamanya membawa kedalam keterpurukan asalkan setiap manusia memahami pandangan apa yang mereka pilih bahkan bisa membuat manusia itu sendiri menjadi manusia yang berhasil.keberhasilan dapat di raih dengan usaha apa yang mereka lakukan dan selalu memiliki sikap pantang menyerah sebelum mencapai apa yang di tuju.maka ubahlah pandangan hidup kalian untuk menjadi manusia yang berharga dan berguna bagi setiap orang di sekitar kalian.
Solusi untuk memecahkan masalah nya
dengan cara
Maraknya kejahatan seksual saat ini
tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, dimana kejahatan tersebut tumbuh dan
berkembang. Kejahatan seksual, termasuk pelecehan seksual terhadap kaum
perempuan, bukan merupakan fenomena tunggal, dan berdiri sendiri. Tetapi dipicu
oleh banyak faktor. Di Mesir, menurut laporan disebutkan, bahwa setiap tahun
ada 20,ooo kasus perkosaan. Menurut laporan yang sama, 90% pelakunya adalah
pengangguran. Sebelum ini, kita juga menyaksikan demo besar-besaran di India
yang menuntut perlindungan terhadap kaum perempuan dari tindak kejahatan
seksual.
Fenomena ini jelas bukan merupakan
fenomena tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku
kejahatannya, tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya.
Namun, fenomena ini merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat
ini, baik di Barat maupun di negeri-negeri kaum Muslim. Sistem Kapitalisme,
dengan azas manfaatnya (naf’iyyah), telah melahirkan kebebasan bertingkah laku
(hurriyyah syakhshiyyah), kebebasan berekspresi (hurriyah ta’bîr), kebebasan
beragama (hurriyah tadayyun), kebebasan memiliki (huriyyah tamalluk) di
tengah-tengah masyarakat. Inilah sistem yang paling bertanggungjawab terhadap
lahir dan berkembangnya fenomena saat ini.
Kejahatan Seksual: Fenomena Komplek
Kejahatan seksual (jarîmah
jinsiyyah) ini pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’
jinsiyyah) yang membuncah. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri
seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya
merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut
dipenuhi. Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr),
termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan
jenis) bagi masing-masing pria dan wanita.
Maraknya perempuan yang berpakaian
minim, dan mengumbar aurat, bukan hanya rambut dan leher, tetapi belahan dada,
bahkan tidak jarang hingga buah dada, diikuti dengan perut dan pusarnya, hingga
paha sampai betis dan tumitnya, semuanya itu merupakan fakta yang bisa
merangsang lawan jenisnya, yaitu kaum pria. Ditambah maraknya gambar, film,
tayangan dan jejaring sosial yang menayangkan adegan seks. Semuanya ini tentu
menjadi pemicu lahirnya rangsangan seks yang begitu kuat. Rangsangan ini
kemudian diikuti fantasi seks hingga mendorong tindakan. Tindakan ini bisa
menjerumuskan pelakunya dalam kejahatan seks, mulai dari pelecehan hingga
perkosaan.
Harus diakui, ini merupakan dampak
dari sistem sosial Kapitalis (an-nidhâm al-ijtimâ’î ar-ra’samâlî), yang membuka
kebebasan bertingkah laku (hurriyah syakhshiyyah), dimana hubungan antara pria
dan wanita begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas pria dan wanita
tanpa batas ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi
orang-orang yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam, tetapi
bagi yang tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang
lemah. Terjadilah tindak perkosaan (jarîmah ightishâb) itu.
Juga perlu dicatat, sistem sosial
Kapitalis ini juga tidak berdiri sendiri, karena sistem ekonomi Kapitalis
(an-nidhâm al-iqtishâdî ar-ra’samâli) yang juga memberikan kontribusi. Terkait
dengan barang dan jasa yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di
tengah-tengah masyarakat, sistem ini tidak mempunyai standar baku, selain azas
manfaat (benefit), dimana setiap barang dan jasa yang mempunyai nilai guna
(utility value) bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan, tanpa melihat
halal dan haram. Barang dan jasa bisa dianggap mempunyai nilai guna (utility
value), jika ada yang menginginkan (raghbah). Karena itu, gambar, film termasuk
sex toys dan layanan seks diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di
tengah-tengah masyarakat. Bahkan bisa menjadi komoditas bisnis yang sangat
menggiurkan.
Belum lagi kebebasan memiliki
(hurriyah tamalluk) barang dan jasa tersebut yang memang dijamin oleh sistem
ekonomi Kapitalis ini. Di satu sisi, sistem ekonomi ini juga melahirkan banyak
orang sibuk, dengan tingkat tekanan yang tinggi (stress). Pada saat yang sama,
agama tidak dijadikan sebagai pondasi kehidupan, sebagai dampak dari
Sekularisasi, maka solusi yang mereka tempuh adalah dugem, minum dan hiburan
yang menawarkan layanan seks semalam. Di lain pihak, sistem ekonomi ini
melahirkan banyak pengangguran dan orang-orang kepepet. Dengan tingkat tekanan
hidup dan rangsangan seksual yang tinggi, didukung dengan tidak adanya pondasi
agama, maka cara singkat dan paling mudah adalah memangsa orang-orang lemah di
sekitar mereka. Terjadilah perkosaan terhadap anak-anak di bawah umur, dan
sebagainya. Di sisi lain, karena tekanan hidup yang sama, kaum perempuan tidak
jarang menjadi komoditas seks yang dijajakan. Terjadikan praktik prostitusi,
mulai dari prostitusi jalanan hingga hotel berbintang. Semuanya ini jelas
merupakan dampak sistemik dari sistem Kapitalis ini.
Solusi Islam: Ganti Rezim dan Sistem
Diakui atau tidak, sistem Kapitalis
ini bisa berjalan karena ada yang menerapkan, baik suka atau terpaksa. Bagi
kebanyakan kaum Muslim, boleh jadi mereka menerapkan sistem ini karena terpaksa
dan dipaksa. Tetapi, tentu tidak bagi para penguasa, baik yang duduk di
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena mereka adalah para penguasa yang
menjadi penyelenggara negara, dan bebas menentukan pilihan sistem apa yang akan
mereka terapkan.
Ketika sistem Kapitalis ini mereka
pilih, maka diakui atau tidak, sesungguhnya para penguasa itu merupakan antek
negara-negara Kapitalis penjajah. Karena itu, ketika umat Islam ini menyadari
kebobrokan sistem yang diterapkan di tengah-tengah mereka, maka mereka juga
harus sadar, bahwa sistem ini masih diterapkan karena ada rezim yang
menerapkannya. Maka, mengganti sistem yang bobrok itu dengan sistem Islam
adalah solusi, tetapi itu bukan satu-satunya. Karena di sana masih ada rezim
yang menjadi kaki tangan negara-negara penjajah. Karena itu, mereka juga harus
diganti dengan orang-orang yang ikhlas dan amanah. Inilah solusi satu-satunya
yang akan bisa mengakhiri mata rantai kejahatan skesual tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah,
bagaimana Islam menyelesaikan kejahatan seperti ini? Maka, bisa dikembalikan
kepada tiga pihak: individu, masyarakat dan negara. Dengan diterapkannya sistem
Islam, dan dijadikannya Islam sebagai dasar kehidupan, baik dalam bermasyarakat
maupun bernegara, maka fakta hingga fantasi seksual sebagaimana yang marak saat
ini tidak akan ada lagi. Interaksi di tengah-tengah masyarakat yang melibatkan
pria dan wanita juga diatur sedemikian, sehingga berbagai pintu pelecehan,
perzinaan hingga perkosaan tersebut akan tertutup rapat. Selain sistem
tersebut, negara juga menerapkan sanksi yang tegas dan keras terhadap siapa
saja yang melakukan kejahatan tersebut.
Islam juga memberikan hak kepada
individu yang menjadi korban pelecehan hingga perkosaan tersebut untuk
melakukan perlawanan. Nabi saw bersabda, “Man qutila duna ‘aradhihi fahuwa
syahid.” (Siapa saja yang terbunuh, karena membela kehormatannya, maka dia pun
mati syahid) (Hr. ). Hadits ini berisi ikhbâr (berita), tetapi dengan konotasi
amr (perintah). Karena itu, siapa saja yang kehormatannya dinodai, harus
melakukan perlawanan. Jika karena itu, dia terbunuh, maka dia pun dinyatakan
sebagai orang yang mati syahid. Perintah yang sama juga berlaku untuk keluarga
korban, bukan hanya korban. Pada zaman Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab, ada
seorang perempuan hendak diperkosa, kemudian dia melawan dengan cara memukul
pelakunya dengan batu hingga tewas. Ketika perempuan yang menjadi korban ini
diajukan ke pengadilan, dan terbukti bahwa tindakannya membunuh pelaku tadi
karena membela diri dari tindak perkosaan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya, maka ‘Umar pun membebaskannya. Ini di satu pihak.
Sanksi Tegas untuk Pelaku
Di pihak lain, Islam juga
memberlakukan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku tindak perkosaan
tersebut. Dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak
perkosaan ini adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika
pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijulid (dicambuk) 100 kali dan diekspos
selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’
menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Imam Malik berkata, “Menurut kami
pria yang memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, jika perempuan
tersebut wanita merdeka, maka pelakunya wajib membayar mahar yang sepadan
denganya. Jika wanita tersebut budak, maka pelakunya wajib membayar kurang dari
harga (budak)-nya. Sanksi ini berlaku bagi pelaku perkosaan, sementara korban
perkosaan tidak ada sanksi apapun.” (Malik, al-Muwatha’, Juz II/734)
Hal yang sama dinyatakan oleh Imam
as-Syâfi’î. Selain kewajiban membayar mahar, juga sanksi had zinâ. Pendapat ini
juga dinyatakan Imam al-Laits, dan diriwayatkan bahwa Sayyidina ‘Alî bin Abî
Thâlib juga menyatakan hal yang sama. Sedangkan Imam Abû Hanîfah dan Sufyân
at-Tsaurî menyatakan, bahwa pelakunya hanya dikenai sanksi had zinâ, sementara
mahar tidak wajib dia bayar. Perlu dicatat, bahwa had zinâ ini merupakan hak
Allah (haqqu-Llah), sedangkan mahar adalah hak manusia (haqq[un] Adami). Dalam
hal ini, kedua-duanya boleh dikumpulkan dalam satu hukuman, sebagaimana orang
yang mencuri, selain dikenai sanksi potong tangan (had sariqah), yang merupakan
haqqu-Llah, juga diwajibkan mengembalikan harga yang dicuri, yang merupakan
haq[un] Adami. (Lihat, al-Muntaqâ Syarah al-Muwatha’, Juz V/268-269).
Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan, “Para
ulama’ sepakat, bahwa pria yang memperkosa wajib dikenai sanksi had zina, jika
bisa dibuktikan dengan pembuktian yang mengharuskan had tersebut, atau si
pelaku mengakuinya. Jika tidak, maka dia harus dikenai sanksi (maksudnya, jika
had zina tidak bisa diberlakukan, karena dia tidak mengaku, tidak ada 4 saksi,
maka hakim bisa menjatuhkan sanksi dan ta’zir kepadanya yang bisa mencegahnya
dan orang seperti dia melakukan perkosaan). Bagi korban tidak ada sanksi, jika
benar bahwa pelaku memaksanya dan menindihnya (sehingga dia tidak berdaya),
antara lain diketahui melalui jeritan dan teriakan minta tolong perempuan
tersebut.” (Ibn ‘Abd al-Bârr, al-Istidzkâr, Juz VII/146).
Ini jika
pelaku perkosaan tersebut melakukan kejahatannya tanpa menakuti, mengancam dan
menghunus senjata kepada korban. Jika dia menakuti, mengancam dan menghunus
senjata, maka tindakan pelaku bisa dimasukkan dalam kategori hirâbah. Maka,
bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau
diasingkan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an (Q.s.
al-Maidah: 33)
No comments:
Post a Comment